LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN DI APOTEK KIMIA FARMA 155 HAYAM WURUK

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

DI APOTEK KIMIA FARMA 155 HAYAM WURUK

 

 Disusun oleh:

 

I Putu Esa Diputra Anjasmara                   (131014)

Dewa Ayu Dwina Inggriani              (131015)

Dewa Ayu Embas Saraswati            (131016)

Ni Putu Erna Widiasmini                           (131017)

 

 

AKADEMI FARMASI SARASWATI

DENPASAR

2016

 

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

MAHASISWA PROGRAM DIII FARMASI

AKADEMI FARMASI SARASWATI DENPASAR

 

DI

 

APOTEK KIMIA FARMA 155 HAYAM WURUK

JALAN HAYAM WURUK NO. 32 DENPASAR

TANGGAL 1 APRIL – 29 APRIL 2016

 

 

DISUSUN OLEH:

I Putu Esa Diputra Anjasmara                   (131014)

Dewa Ayu Dwina Inggriani              (131015)

Dewa Ayu Embas Saraswati            (131016)

Ni Putu Erna Widiasmini                           (131017)

DISETUJUI OLEH PEMBIMBING

 

(I.G.A Pt. P. L. Saraswati., S.Si., Apt)      (Drs. I Gd. Md. Saskara Edi,M.PSi.,Apt)

Apoteker Pembimbing Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk
Dosen Akademi Farmasi Saraswati
Denpasar

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan di Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk. Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini merupakan salah satu syarat pada program pendidikan mahasiswa Akademi Farmasi Saraswati Denpasar. Selain itu, Praktek Kerja Lapangan ini juga bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai peran, tugas, dan fungsi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) di apotek sehingga dapat memberikan wawasan dan pengalaman bagi penulis dalam memahami tugas dan fungsinya sebagai calon Ahli Madya Farmasi dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berkualitas kepada masyarakat.

Sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban penulis, maka disusunlah suatu Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Apotek Kimia Farma Hayam Wuruk yang dijabarkan dan dideskripsikan berdasarkan apa yang penulis laksanakan di tempat PKL. Keberhasilan dalam menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Apotek Kimia Farma Hayam Wuruk ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan moral, material maupun spiritual. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus kepada:

  1. Bapak Drs. I Gede Made Saskara Edi, M.Psi., Apt, selaku Direktur Akademi Farmasi Denpasar dan sebagai selaku pembimbing di Akademi Farmasi Saraswati Denpasar.
  2. Ibu I Gusti Ayu Putu Priyani Lingga Saraswati, S.S, Apt selaku pembimbing Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk.
  3. Segenap karyawan di Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan Praktek Kerja Lapangan.
  4. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Apotek Kimia Farma Hayam Wuruk ini masih banyak kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga laporan ini dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dan bagi siapa saja yang membacanya.

Denpasar, 12 Mei 2016

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang diutamakan oleh setiap orang untuk dapat melakukan setiap kegiatan yang diinginkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dibentuklah suatu upaya kesehatan melalui pembangunan kesehatan. Menurut UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan diperlukan upaya kesehatan.

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam melaksanakan suatu upaya kesehatan diperlukan fasilitas kesehatan sebagai wadah dalam melakukannya. Fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat (UU No. 36 Tahun 2009).

Tenaga  kefarmasian merupakan salah satu tenaga kesehatan yang dibentuk untuk melaksanakan upaya kesehatan secara baik dan profesional. Tenaga teknis kefarmasian yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian salah satunya adalah ahli madya farmasi. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat. Ahli madya farmasi harus memiliki kompetensi yang tinggi serta memiliki keterampilan. Akademi Farmasi Saraswati Denpasar sebagai salah satu  instansi pendidikan yang berlandaskan pendidikan kesehatan khususnya dibidang kefarmasian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan memberikan pengalaman kerja nyata yang disebut Praktek Kerja Lapangan (PKL).

Praktek Kerja Lapangan merupakan suatu proses pembelajaran pada unit kerja nyata sehingga peserta didik mendapat gambaran dan pengalaman kerja secara langsung dan menyeluruh, tempat yang dapat dijadikan sebagai sarana pelaksanaan kegiatan PKL adalah apotek.

Apotek merupakan salah satu tempat pelayanan kesehatan khususnya di bidang farmasi dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014  tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek disebutkan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Maka kegiatan PKL di apotek bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui dan melaksanakan tugas dan wewenang tenaga teknis kefarmasian di Apotek.

 

  • Tujuan Praktek Kerja Lapangan
    • Tujuan Umum Praktek Kerja Lapangan
  1. Melatih mahasiswa agar mampu beradaptasi dengan dunia kerja
  2. Memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang sistem kerja di institusi pemerintah atau swasta
  3. Memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang penerapan teori yang telah dipelajari di bangku kuliah pada permasalahan riil di dunia kerja
  4. Memberikan pembekalan pada mahasiswa dalam rangka menyongsong era industri dan persaingan bebas.

 

  • Tujuan Khusus Praktek Kerja Lapangan
  1. Memahami dan melaksanakan pengelolaan perbekalan farmasi di Apotek.
  2. Memahami dan melaksanakan kegiatan administrasi kefarmasian di Apotek.
  3. Melaksanakan pelayanan kefarmasian di Apotek.
  4. Membuat promosi dan edukasi dalam bentuk leaflet/brosur atau poster yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di Apotek.
  5. Memahami dan melaksanakan pelayanan swamedikasi dan home care di Apotek.

 

  • Manfaat Praktek Kerja Lapangan

Adanya Praktek Kerja Lapangan ini diharapkan dapat mencapai beberapa manfaat, yaitu :

  1. Bagi Mahasiswa:

Dapat meningkatkan wawasan keilmuan mahasiswa tentang situasi dalam dunia kerja.

  1. Bagi Program Studi:
  2. Dapat menjadi tolok ukur pencapaian kinerja program studi khususnya untuk mengevaluasi hasil pembelajaran oleh instansi tempat PKL.
  3. Dapat menjalin kerjasama dengan instansi tempat PKL.
  4. Bagi Instansi Tempat PKL:

Dapat menjadi bahan masukan bagi instansi untuk menentukan kebijakan perusahaan di masa yang akan datang berdasarkan hasil pengkajian dan analisis yang dilakukan mahasiswa selama PKL

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 Pengertian Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bahwa Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Apotek melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan, dan dokter lainnya yang telah mendapatkan izin menurut perundang–undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas sepenuhnya ada dalam tanggung jawab apoteker yang dibantu oleh seorang asisten apoteker. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker.

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi. Adapun menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 pasal 1, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek pada saat ini bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu pada Pharmaceutical Care  dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dari pasien, meliputi pengenalan, pemecahan, dan pencegahan masalah yang berhubungan dengan obat (Drug Related Problem). Apotek bukan merupakan sarana distribusi obat yang hanya menekankan pada penyampaian produk ke konsumen, tetapi juga menekankan pada penyampaian informasi dan layanan kefarmasian kepada pasien.

  • Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, tugas dan fungsi apotek adalah :

  1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
  2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
  3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
  4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
    • Perbekalan Farmasi di Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 pasal 1, Perbekalan Farmasi adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Definisi obat berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obatan yang harus ada di apotek adalah obat-obat yang terdapat pada daftar obat essensial.

Obat-obat yang tersedia dalam apotek terdiri dari beberapa golongan yaitu:

  1. Obat Bebas

Obat bebas yaitu obat yangboleh dijual bebas dan tidak berbahaya.Masyarakat dapat menggunakannya sendiri tanpa pengawasan dokter.Obat ini pada kemasannya terdapat lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam, sesuai dengan SK MENKES No.2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas

Contoh: rivanol, parasetamol, dasabion dan lain-lain.

  1. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat keras yang diberi batas pada setiap takaran dan kemasan yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat ini dapat dibeli tanpa resep dokter. Obat ini mempunyai tanda khusus yaitu lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam sesuai SK MENKES No.2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas

Disamping itu sesuai dengan SK MENKES No. 6355/DIRJEN/SK/1969 terdapat tanda peringatan P.No.1 sampai dengan P.No.6 dan penanda pada etiket atau brosur terdapat nama obat yang bersangkutan, daftar bahan khasiat, nomor batch, tanggal kadaluwarsa, nomor registrasi, petunjuk penggunaan (indikasi), cara pemakaian, peringatan, kontra indikasi, nama dan alamat produsen. Tanda peringatan pada kemasan dibuat dengan dasar hitam dan tulisan berwarna putih.

Gambar 2.3 Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas (P.No.1-P.No.6)

Keterangan :

P – 1 : Awas obat keras, bacalah aturan pakai

Contoh : obat-obat pereda flu: Neosep, Procold

P – 2 : Awas obat keras, hanya untuk kumur, jangan ditelan

Contoh : obat kumur yang mengandung povidone iodine (Betadine)

P – 3 : Awas obat keras, hanya untuk bagian luar dan badan

Contoh : Canesten, Kalpanax.

P – 4 : Awas obat keras, hanya untuk dibakar

Contoh : Skapolamin (obat asma).

P – 5 : Awas obat keras, tidak boleh ditelan

Contoh : Dulcolax supositoria

P – 6 : Awas obat keras, obat wasir, jangan di telan

Contoh : Borraginol supositoria

  1. Obat Keras

Obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan dan lain-lain pada tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Obat ini mmpunyai tanda khusus yaitu lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 02396/A/SK/VIII/86 mengenai Tanda Khusus Obat Keras Daftar G.Contoh : antibiotika: Amoxicillin, cefixime, azithromycin. Obat antihipertensi: captopril, amlodiphine, candesartan. Obat antidiabetik: glibenklamid, metformin

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras

  1. Obat Wajib Apotek (OWA)

OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan apoteker kepada pasien. Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat. Obat-obat yang digolongkan dalam OWA merupakan obat yang diperlukan bagi penyakit yang sering diderita pasien antara lain obat antiinflamasi, alergi kulit, infeksi kulit dan mata, antialergi sistemik dan obat Keluarga Berencana (KB) hormonal.

  1. Obat Narkotika

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika

  1. Pembagian Narkotika

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009, narkotika dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu :

  • Narkotika Golongan I

Narkotika  golongan I hanya digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, tidak digunakan dalam terapi karena mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : tanaman Papaver somniferum (kecuali biji), Erythroxylon coca dan Cannabis sativa.

  • Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II berkhasiat sebagai pengobatan dandigunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi menyebabkan ketergantungan.

Contoh : morfin dan pethidin.

  • Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III berkhasiat sebagai pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : codein

  1. Pengelolaan Psikotropika

Menurut UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku pemakainya. Obat psikotropika dapat menimbulkan ketergantungan dan dapat disalahgunakan.

Menurut UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 3 tentang Psikotropika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan untuk memberantas peredaran gelap psikotropika. Tanda khusus pada obat psikotropika sama dengan obat keras yaitu lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.

Gambar 2.6 Penandaan Obat Psikotropika

  1. Pembagian psikotropika

Psikotropika dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu golongan I, II, III dan golongan IV.

  1. Psikotropika golongan I

Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi. Psikotropika jenis ini mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.

Contoh dari psikotropika golongan I adalah katinona.

  1. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan, digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika jenis ini mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.

Contoh dari psikotropika golongan II adalah amfetamine dan metamfetamin.

  1. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan, digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika jenis ini mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.

Contoh dari psikotropika golongan III adalah pentobarbital.

  1. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan. Psikotropika jenis ini mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.

Contoh dari psikotropika golongan III adalah alprazolam, dan diazepam.

  1. Obat Generik Berlogo

Obat generik berlogo adalah obat generik yang menyandang logo sebagai lambang yang menyatakan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat terhadap obat generik yang dihasilkan. Obat generik berlogo setaraf khasiatnya dibandingkan khasiat paten. Logo yang digunakan pada OGB adalah lingkaran warna hijau dengan tulisan generik.

Gambar 2.7 Penandaan Obat Generik Berlogo

  1. Obat Paten

Obat Paten adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama pabrik yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang memproduksinya, telah dipatenkan oleh sutu pabrik dan biasanya memiliki harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan Obat Generik.

  1. Obat Tradisional

Obat Tradisional yang beredar di Indonesia dikategorikan menjadi 3 golongan yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Bo.HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pengelompokan dan Penandaan obat Bahan Alam Indonesia : Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

 

 

Gambar 2.8 Penandaan pada Obat Tradisional

  • Jamu
  1. Aman sesuai dengan persyaratan yang dittetapkan.
  2. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
  3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
  4. Contoh : Pilkita®, Laxing®, Keji Beling®, Curcuma Tablet®.
  • Obat Herbal Terstandar
  1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  2. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik.
  3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
  4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
  5. Contoh : Lelap®, Diapet®, Tolak Angin®, Antangin JRG®.
  • Fitofarmaka
  1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  2. Klaim khasiat dibuktikan secara uji klinik.
  3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
  4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Contoh : Stimuno®, Nodiar®, Tensigard®

Selain obat, di Apotek juga dijual alat kesehatan (termometer, tensimeter, timbangan berat badan, kapas, perban, masker, kursi roda), kosmetik (bedak, sabun, tabir surya) dan perbekalan kesehatan rumah tangga (pembalut).

  • Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014. Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian, Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek pada saat ini bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu pada Pharmaceutical Care  dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dari pasien, meliputi pengenalan, pemecahan, dan pencegahan masalah yang berhubungan dengan obat (Drug Related Problem). Apotek bukan merupakan sarana distribusi obat yang hanya menekankan pada penyampaian produk ke konsumen, tetapi juga menekankan pada penyampaian informasi dan layanan kefarmasian kepada pasien.

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
  2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
  3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:

  1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
  2. Pelayanan farmasi klinik.
  • Standar Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi: perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

     Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

  1. Pengadaan

Pengadaan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Pengadaan sediaan farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi. (presiden republik indonesia, 2009). Keterangan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan sediaan farmasi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. Pengadaan dapat dilakukan melalui:

  1. Pembelian
  2. Produksi Sediaan Farmasi
  3. Sumbangan/Drooping/Hibah
  1. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

  1. Penyimpanan
  1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
  2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
  3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
  4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out)
    1. Pemusnahan
  5. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan
  6. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
    1. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

  1. Pencatatan dan Pelaporan.

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

  • Standar Pelayanan Farmasi Klinik.

Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:

  1. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

  1. Kajian administratif meliputi:
    1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
    2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
    3. Tanggal penulisan Resep.
  2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
    1. Bentuk dan kekuatan sediaan;
    2. Stabilitas; dan
    3. Kompatibilitas (ketercampuran Obat).
  3. Pertimbangan klinis meliputi:
    1. Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
    2. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
    3. Duplikasi dan/atau polifarmasi;
    4. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain);
    5. Kontra indikasi; dan
    6. I

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

  1. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:

  1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan Resep:
    1. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep
    2. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
  2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan
  3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
  4. Warna putih untuk obat dalam/oral;
  5. Warna biru untuk obat luar dan suntik;
  6. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
  7. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.

Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:

  1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
  2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
  3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
  4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
  5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
  6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
  7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
  8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan);
  9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
  10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

  1. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.

Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:

  1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
  2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
  3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
  4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
  5. Melakukan penelitian penggunaan Obat;
  6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
  7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :

  1. Topik Pertanyaan;
  2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
  3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
  4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
  5. Uraian pertanyaan;
  6. Jawaban pertanyaan;
  7. Referensi;
  8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
    1. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions.Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.

Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

  1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
  2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
  3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
  4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
  5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
  6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling:

  1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
  2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
  • Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
  • Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
  • Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
    1. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.
    2. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat
    3. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.
    4. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.
    5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :

  1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan
  2. Identifikasi kepatuhan pasien
  3. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin
  4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum
  5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
  6. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan menggunakan formulir 8 sebagaimana terlampir.
  7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Kriteria pasien:

  1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
  2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
  3. Adanya multidiagnosis.
  4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
  5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
  6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.
    1. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.


 

  • Sumber Daya Kefarmasian

Sumber daya merupakan sebuah potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur dalam kehidupan. Dalam lembaga atau organisasi apapun, sumber daya merupakan potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Pengelolaan sumber daya menjadi sebuah keharusan jika menginginkan apotek mengalami kemajuan dan perkembangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014, sumber daya dalam apotek adalah:

  • Sumber Daya Manusia

Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:

  1. Persyaratan administrasi
  2. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
  3. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
  4. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
  5. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
  6. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
  7. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan.
  8. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
  9. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.
  10. Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu:
  11. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

  1. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

  1. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

  1. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

  1. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat.

  1. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD).

  1. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.

  • Sarana dan Prasarana

Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

  1. Ruang penerimaan Resep

Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.

  1. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).

  1. Ruang penyerahan Obat

Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.

  1. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

  1. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus,

pengukur suhu dan kartu suhu.

  1. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

  • Administrasi Kefarmasian Di Apotek

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi:

  • Administrasi umum, yang meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • Administrasi pelayanan, yang meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

Melaksanakan kegiatan administrasi umum kefarmasian di apotek yang meliputi :

  • Pencatatan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

  • Pengarsipan

Pengarsipan adalah penempatan dokumen-dokumen tertulis dalam tempat penyimpanan sesuai dengan aturan yang berlaku sedemikian rupa, sehingga apabila sewaktu-waktu dokumen diperlukan dapat ditemukan kembali dengan mudah dan cepat.

  • Pelaporan Narkotika

Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten/Kota dan dibuat tembusan ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Provinsi, Balai Besar POM dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan narkotika ini berisi nomor urut, nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan, pengeluaran dan persediaan akhir bulan serta keterangan.

Khusus untuk penggunaan morfin, pethidine dan derivatnya dilaporkan dalam lembar tersendiri disertai dengan nama dan alamat pasien serta nama dan alamat pasien serta nama dan alamat dokter.

  • Pelaporan Psikotropika

Pengeluaran obat psikotropika wajib dilaporkan pelaporan dibedakan atas penggunaan bahan baku psikotropika dan sediaan jadi psikotropika. Pelaporan psikotropika dibuat satu bulan sekali tetapi dilaporkan satu tahun sekali (awal Januari sampai Desember) ditujukan kepada Dinas Kesehatan Propinsi, kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan dan Arsip Apotek. Laporan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK/SP, nomor SIA dan Stempel Apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (bermerek), satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir bulan serta keterangan.

Melaksanakan kegiatan administrasi pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi :

  1. Pengarsipan Resep

Pengarsipan resep adalah penempatan resep-resep dalam tempat penyimpanan sesuai dengan aturan yang berlaku sedemikian rupa, sehingga apabila sewaktu-waktu resep diperlukan dapat ditemukan kembali dengan mudah dan cepat, kecuali pengarsipan untuk resep narkotika dan psikotropika secara terpisah.

  1. Pengarsipan Catatan Pengobatan Pasien

Pengarsipan catatan pengobatan pasien adalah penempatan dokumen-dokumen tertulis tentang riwayat pengobatan pasien yang berisi identitas pasien, diagnosa dan cara pengobatan dalam tempat penyimpanan sesuai dengan aturan yang berlaku sedemikian rupa, sehingga apabila sewaktu-waktu dokumen diperlukan dapat ditemukan kembali dengan mudah dan cepat.

  1. Pengarsipan Hasil Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya

2.7    Promosi dan edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, tenaga teknis kefarmasian harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri-sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan, yaitu dengan memilihkan obat yang sesuai. Tenaga teknis kefarmasian harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi ini. Dalam hal ini, tenaga teknis kefarmasian juga ikut membantu diseminasi informasi antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain.

2.8    Pelayanan swamedikasi

Swamedikasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri. Swamedikasi atau pengobatan  sendiri bisa dilakukan untuk menangani penyakit-penyakit ringan, misal sakit kepala, demam, sakit gigi, diare, dengan menggunakan obat-obat yang ada di rumah atau membeli langsung ke toko obat atau ke apotek.

BAB V

PENUTUP

 

5.1 Kesimpulan

Dari Praktek Kerja Lapangan yang dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa: Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk telah menjalani fungsinya dengan baik, dengan melayani pasien secara profesional baik dari segi penampilan/sikap maupun pelayanan. Dalam melaksanakan pengelolaan perbekalan farmasi di Apotek Kimia Farma 155 Hayam Wuruk dan pelayanan farmasi klinisnya telah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014 .Tentang Standar Pelayanan Di Apotek. Hal ini dapat dilihat dari pembahasan yang telah dijelaskan di atas. Serta sudah lengkapnya sistem komputerisasi yang digunakan sehingga memudahkan para karyawan untuk bekerja.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *